Senin, 10 Mei 2010

They call it PR 2.0

Internet membuat kerja praktisi komunikasi mengalami perubahan yang sangat luar biasa lantaran munculnya fenomena social media seperti Facebook, Twitter, Plurk, dan sebagainya. Public Relation bukan hanya harus lihai berhubungan dengan influencer, termasuk media, tetapi juga dituntut untuk fasih berhubungan langsung dengan konsumen. Konsumen yang bergabung di social media tidak butuh bahasa yang manis dan formal ala siaran pers. Yang mereka butuhkan adalah juru bicara perusahaan yang mengerti kebutuhan mereka dan sekaligus merespon keluhan mereka secepat mungkin, dan bisa berinteraksi langsung dengan mereka dan melakukan percakapan.

Kasus RS Internasional Omni Hospital, Alam Sutra, Serpong, Tangerang Selatan melawan pasiennya sendiri, Prita Mulyasari, yang dituduh mencemarkan nama baik karena menyebarluaskan keluhan lewat email, justru memperburuk citra rumah sakit itu sendiri. Keputusan manajemen untuk membawa kasus itu ke ranah hukum dan berakibat memenjarakan ibu dua anak balita itu, dianggap semena-mena dan menimbulkan perlawanan massal dari pengguna internet lewat berbagai gerakan di online social media, baik lewat blog, mailing list, serta social networking seperti Facebook. Tanpa memahami perilaku konsumen di dunia online, perusahaan tidak mungkin dapat membangun strategi komunikasi dengan konsumennya. Tanpa hidup di dunia maya, perusahaan tidak akan mampu bercengkerama dengan pelanggannya. Maka membangun budaya online hukumnya wajib saat ini.

Jika upaya praktisi Public Relation dalam membangun citra positif perusahaan hanya dilakukan dengan bicara positif ke wartawan dan media massa. Jika mereka melakukan kegiatan-kegiatan corporate social responsibility yang standar dengan menulis advertorial di sebanyak mungkin surat kabar mengenai perilaku baik perusahaan, profesi Public Relation benar-benar berada diambang kehancuran. “Kalau praktisi Public Relation masih menyikapi pekerjaannya seperti itu, bahaya. Profesi Public Relation bisa bakal mati.,” ucap Yuswohady, penulis buku Crowd yang juga Chief Executive, MarkPlus Institute of Marketing (MIM)

Bukan hanya perilaku konsumen yang berubah dengan adanya social media, tapi juga kecepatan perubahan medium di social media. Tiga tahun lalu Friendster merajalela di Indonesia. Namun sejak setahun Facebooklah yang menjadi fenomena. Apa boleh buat, praktisi Public Relation juga harus berpacu melawan kencangnya laju perkembangan media online di soial media ini.

Fakta ini, bagaimana pun juga akan mempengaruhi strategi komunikasi online perusahaan-perusahaan dan merek di Indonesia. Social media sudah saatnya menjadi bagian penting dari strategi komunikasi di Indonesia. Tanpa memahami perilaku konsumen di dunia online, perusahaan tidak mungkin dapat membangun strategi komunikasi dengan konsumennya. Tanpa hidup di dunia maya, perusahaan tidak akan mampu bercengkerama dengan pelanggannya. Maka membangun budaya online hukumnya wajib saat ini.

Menurut Handito Hadi Joewono, Presiden Arbey Indonesia, ada 7 (tujuh) indikator keberhasilan bersaing perusahaan atau institusi yang disebut “7n1 Competitive Indicator”, yakni: sales, market share, customer awareness, customer image, customer satisfaction, customer loyalty, stakeholder value through frofit, dan growth.

Untuk mencapai ketujuh indikator itu, diperlukan tiga pilar kokoh dari operasional layanan bisnis perusahaan, yang tak lain adalah: Selling, Marketing dan Services, yang disingkat SMS.

Tiga pilar Selling, Marketing dan Services, saling mendukung satu sama lain untuk mencapai tujuan perusahaan. Marketing misalnya, punya tugas penting mendukung pencapaian kinerja Selling (berupa sales dan market share) dan Service (berupa customer satisfaction dan customer loyalty).

Komunikasi (PR) yang memegang peran penting, Service, sangat butuh untuk berinteraksi langsung dengan konsumen dan melakukan percakapan. Tentu saja, ini bukan pekerjaan mudah. Apalagi praktisi PR itu wajib “berbicara” sesuai brand personality yang diwakilinya. Ironis, ketika melihat PR atau MARCOM sekalipun, rutinitasnya hanya surat menyurat, jadi ‘tameng’ perusahaan ketika didera isu, atau menyiapkan surat ijin.

Apalagi dijaman sekarang, dimana internet sudah bukan barang langka, dan social media sudah jadi bagian dari kehidupan masyarakat. Dimana konsumen bebas berteriak di Internet. Produk yang mengecewakan atau cacat tak mudah ditutupi. Sebuah perkataan di social media, akan dengan sangat mudah ter-viral ke konsumen lain, atau bahkan calon konsumen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar